Jumat, 05 Agustus 2011

Mengapa IPTEK Kurang Maju di Indonesia ?..




Pengantar: Meskipun tulisan ini dibuat beberapa tahun yang lalu, nilainya masih relevan dengan masa kini dan depan iptek di Indonesia. Ia suatu selingan dari pokok utama kita: ruang hiper.

Dibanding sarjana tiga negara Asia yang bersama Indonesia merdeka sesudah PD II, tidak satu pun sarjana Indonesia meraih hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi dan fisika. Pada tahun 2002, Daniel Kahneman dari Israel, merdeka 1948, meraih Hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi. Sementara itu, Abdus Salam dari Pakistan, suatu negara Dunia Ketiga yang merdeka 1947, memenangkan hadiah Nobel dalam ilmu fisika pada tahun 1979 bersama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg dari Amerika Serikat. Sir Chandrasekhara Venkata Raman dari India, suatu negara Dunia Ketiga juga yang merdeka 1947, memenangkan hadiah Nobel untuk ilmu fisika pada tahun 1930. Tapi Indonesia yang merdeka 1945 tidak meraih satu pun hadiah itu dalam salah satu dari kedua bidang iptek tadi.

Nilai Strategis dan Visi

Tanpa strategi berdasarkan visi iptek yang jelas, suatu negara seperti Indonesia akan tertinggal dalam perkembangan ipteknya. Ketiadaan ini suatu penyebab utama ketertinggalan negara ini dalam bidang iptek. Ketertinggalan ini tidak akan menolong sarjana-sarjananya untuk meraih Hadiah Nobel dalam bidang ilmu fisika, kimia, fisiologi/kedokteran, dan ekonomi.

Meraih hadiah Nobel dalam bidang iptek bukan sekadar “pameran” dari kecemerlangan otak sarjana Indonesia. Pameran kecemerlangan otak bisa bersifat semu; ia belum tentu mewakili mutu pendidikan iptek yang sesungguhnya di Indonesia. Meraihnya karena itu punya dua nilai strategis. Pertama, ia suatu petunjuk bahwa pendidikan iptek di Indonesia bermutu dan merata di negara ini. Kedua, ia juga suatu petunjuk bahwa negara ini tidak akan tersisihkan dalam persaingan global menyangkut iptek abad ke-21.

Nilai strategis itu berkembang dari kebiasaan berorientasi ke masa depan. Mengapa Amerika Serikat, negara adi daya masa kini, berbeda dengan negara-negara lain? Ia berorientasi ke masa depan, jawab David Brooks dalam “Land of the Future,” laporan khususnya yang dimuat Newsweek (16-23 September 2002). Katanya, orientasi ke masa depan (future-mindedness), mampu melihat masa sekarang dari keuntungan masa depan, adalah suatu ciri khas orang AS. Bahkan Albert Einstein, ilmuwan tenar yang berimigrasi dari Jerman ke AS itu, mengakui orietansi pemikiran ini. “Orang Amerika hidup untuk tujuannya, untuk masa depan, bahkan lebih banyak dari pada orang Eropa,” katanya. “Kehidupan baginya adalah selalu menjadi (becoming), tidak pernah berada (being).” Itulah sebabnya bagian lain dari dunia melihat kepada negara adi daya itu untuk memperoleh gagasan-gagasan dan visi.

Jelaslah bahwa nilai strategis itu membutuhkan visi. Barangkali Visions tulisan Dr. Michio Kaku, seorang fisikawan teoritis AS berdarah Jepang, bisa memberi kita suatu bayangan tentang pentingnya nilai strategis itu.

Menurut Kaku, unsur-unsur yang membentuk pilar-pilar sains abad ke-20 mencakup materi, hidup, dan akal budi (mind). Pembelahan inti atom memampukan kita memahami lebih rinci sifat-sifat materi melalui dunia subatomik. Lalu, kita makin memahami hidup ketika inti sel diuraikan. Kemudian, pengembangan komputer elektronik meniru sistem kecerdasan dari akal budi manusia.

Kaku meramalkan bahwa kunci terobosan ilmiah abad ke-21 ditentukan oleh revolusi ilmiah dalam kuantum, komputer, dan DNA. Akan tetapi, yang mendasari ketiga pilar tadi adalah revolusi kuantum. Teori kuantum membatasi misteri materi pada dua gagasan dasar. Pertama, energi terjadi dalam berkas-berkas yang terpisah-pisah, disebut “kuantum” (bentuk tunggal) atau “kuanta” (bentuk jamak). Kedua, partikel-partikel subatomik memiliki kualitas partikel dan mirip gelombang. Menurut Dr. Kaku, di masa depan, revolusi kuantum akan memampukan kita memanipulasi dan mengkoreografi bentuk-bentuk materi yang baru, hampir sesuka hati kita. Revolusi inilah yang menolong menetaskan dua revolusi ilmiah hebat yang lain: revolusi biomolekuler – mencakup kristalografi sinar X serta teori ikatan kimiawi – dan revolusi komputer yang dimungkinkan oleh penemuan transistor dan laser yang sangat penting bagi Internet.

Kekayaan dan kemakmuran bangsa-bangsa masa depan dan bahkan redistribusi kekuasaan bangsa-bangsa di Bumi akan ditentukan oleh tanggapan mereka pada ketiga revolusi ilmiah tadi. Ramalnya: “Bangsa-bangsa akan naik dan jatuh berdasarkan kemampuannya menguasai ketiga revolusi ini.” Besar kemungkinan pemenangnya adalah bangsa-bangsa yang memahami sepenuhnya betapa pentingnya ketiga revolusi ilmiah ini. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang bersikap skeptik terhadap ketiga macam revolusi ilmiah tadi “akan menyadari dirinya disisihkan dalam pasaran global dari abad kedua puluh satu.”

Ada dua tema utama dari Visions. Pertama, kita tengah menuju masa peralihan antara “pengamat pasif dari Alam menjadi koreografer aktif dari Alam,” dari pengamat Alam sampai dengan abad ke-20 menjadi penguasa Alam abad ke-21 dan sesudahnya. Tema ini menyiratkan revolusi kuantum. Kedua, reduksionisme, suatu pendekatan ilmiah, tidak bisa lagi diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah sains secara terpisah-pisah. Keterbatasan pendekatan ini menimbulkan sinergi antara tiga revolusi ilmiah fundamental dalam kuantum, komputer, dan DNA.

Jepang sudah menyadari pentingnya ketiga revolusi ilmiah tadi bagi kekayaan dan kemakmuran bangsanya dalam abad ke-21. Pada tahun 1990, Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional Jepang membuat suatu daftar teknologi-teknologi kunci yang akan dikembangkan untuk abad ke-21. Daftar itu mencakup mikroelektronika, bioteknologi, industri sains material yang baru, telekomunikasi, pembuatan pesawat terbang sipil, robot dan alat-alat mesin, dan komputer (perangkat keras dan lunak). “Tanpa kecuali, masing-masing dari teknologi itu yang dipilih untuk menuntun abad kedua puluh satu berakar kuat dalam revolusi kuantum, komputer, dan DNA,” Dr. Michio Kaku menyimpulkan.

Ramalan Kaku didukung oleh dua laporan utama mingguan Newsweek terbitan untuk 8-15 April 2002 dan 16-23 September 2002. Info yang relevan dengan ketiga revolusi ilmiah tadi dirangkum demikian:

1. Revolusi kuantum: Mobil-mobil yang menggunakan tenaga sel-sel akan dijual tahun 2012. Pada tahun 2052, hidrogen “bersih” diekstraksi dari air dan sepenuhnya menggantikan minyak untuk kebanyakan pemakaian; bahan bakar hidrogen dialirkan ke rumah dan sama sekali menggantikan minyak dan gas; dan bahan bakar hidrogen menggantikan bahan bakar fosil pada banyak mobil, bis dan pesawat terbang yang dirancang untuk bebas emisi.

2. Revolusi komputer: Pada tahun 2005, perbankan elektronik akan menggantikan uang tunai pada negara-negara maju; perangkat terjemahan menggantikan guru-guru bahasa asing (2010); dan teknologi grid menyatukan tenaga main frame, PC dan Internet pada tahun 2012. Mengenai grid, semua komputer akan dihubungkan pada suatu grid tunggal dan memampukan komputer apa pun memanfaatkan tenaga komputer-komputer lain, mirip dengan tenaga listrik pada berbagai bangunan yang diperoleh dari suatu pembangkit tenaga listrik sentral. Pada tahun 2014, akses komputer ke data medis akan meningkatkan pemeliharaan kesehatan diri sendiri; empat tahun kemudian, separuh barang-barang akan dijual online.

3. Revolusi DNA: Kloning dan manipulasi genetik untuk kesehatan manusia yang sudah dikembangkan sejauh ini akan diteruskan. Selanjutnya, pabrik penghijauan dan energi terbarukan akan berkembang pesat (2010); pertanian organik mendapat dukungan (2012); terapi genetik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit keturunan menjadi lasim (2013); separuh sampah rumah didaur ulang (2013); dan orang tua menciptakan anak-anak yang dirancang secara genetik (2025)

Lalu, apa jadinya kalau visi Kaku yang diperkuat Newsweek nanti terbukti benar? Para sarjana Indonesia tanpa kesiapan iptek mungkin tidak akan mampu menjadi koreografer aktif dari Alam dan tetap mengandalkan reduksionisme. Ketertinggalan ini kemudian ikut menyisihkan Indonesia dari persaingan global dalam kuantum, komputer, dan DNA.
..........................................................................................................................
Sumber : http://infoiptek21.blogspot.com/2009/12/37-mengapa-iptek-kurang-maju-di.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar