Senin, 26 September 2011

Lesson From Satisfied Manager..


Suatu hari seorang direktur dari perusahaan yang cukup besar dan merupakan penguasa pasar nomor satu di negaranya memanggil jajaran manajer di bawah kepemimpinannya. Waktu itu adalah hari-hari menjelang akhir tahun, dan sudah menjadi kebiasaan sang direktur untuk berdiskusi dengan para manajer mengenai rencana dan goal yang ingin dicapai perusahaan untuk tahun depan. Ketika itu, posisi penjualan produk produk perusahaan berhasil mencapai angka yang fantastis. Bahkan tahun itu bisa dibilang termasuk tahun terbaik yang pernah mereka alami.

Ketika direktur memanggil manajer sales, sang direktur berkata, “Saya puas dengan penjualan tahun ini. Sepertinya kamu bekerja dengan cukup keras. Kira-kira apa rencanamu untuk tahun depan? Apakah kamu punya usulan-usulan tertentu yang ingin kamu sampaikan kepada saya?” Mendengar pujian dari sang direktur, manajer tersebut tersenyum lebar dan dengan bersemangat menjawab pertanyaan atasannya, “Terima kasih, Pak. Saya juga tidak menyangka kalau tahun ini penjualannya sangat bagus. Karena itu, saya akan berusaha keras untuk tetap mempertahankan tingkat penjualan ini.”

Sang direktur tiba-tiba mengerutkan dahinya, “Jadi, apakah rencanamu untuk tahun depan?” Masih dengan keyakinan cukup tinggi manajer itu berkata, “Saya belum menyiapkan rencana yang spesifik, Pak. Tapi, melihat angka penjualan kita yang sudah fantastis dibandingkan dengan kompetitor, saya rasa kita harus berkonsentrasi untuk tetap mempertahankannya. Mungkin kita akan tetap melakukan strategi-strategi yang sudah berhasil kita lakukan dan tetap menjaga semangat karyawan dalam mempertahankan kinerja bagus mereka.”

Mendengar jawaban tersebut sang direktur mengendurkan dahi dan tersenyum, “Wah, baguslah kalau begitu, saya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membayar gajimu yang mahal....” Si manajer segera terperangah, “Maksudnya, Pak?”

Sang direktur menjelaskan, “Saya mengerti bahwa hasil penjualan yang signifikan tahun ini merupakan usaha keras yang sudah kamu lakukan. Tetapi, kalau untuk melakukan apa yang sudah kita lakukan ditahun sebelumnya, saya rasa saya tidak perlu membayar mahal seorang manajer. Saya bisa mengangkat bawahanmu yang potensial, memberinya gaji dibawah gajimu, dan saya yakin penjualan kita masih bisa bagus.”

Anthony Robbins pernah berkata, “Jika anda hanya melakukan apa yang biasa anda lakukan, anda akan memperoleh hasil yang biasa anda peroleh.” Untuk mencapai hal-hal besar dibutuhkan tindakan-tindakan yang juga besar. Kadang kala visi dan goal kita hanya merupakan goal biasa yang mudah dicapai karena kita takut dan tidak yakin bahwa diri kita mampu melakukan hal yang besar. Bahkan beberapa orang yang takut mencanangkan visi yang tinggi bukanlah karena tidak yakin, melainkan karena enggan untuk menderita dan bersusah payah mencapai visi mereka.

Albert Einstein mengatakan, bahwa adalah kegilaan untuk melakukan hal yang sama tetapi menginginkan hasil yang berbeda.

Sumber : Crazy! Leadership – Iwan Wahyudi

Jumat, 23 September 2011

Novel Hidup Berawal Dari Mimpi : Sang Juara..


Lelaki itu kembali memikul dagangannya; dua keranjang besar yang dipenuhi bersisir-sisir pisang. Bayang-bayang pohon sudah lebih panjang dari dirinya sendiri-jam dinding di sebuah toko yang baru saja dia lewati mengabarkan bahwa waktu beranjak senja. 14.28, tujuh jam lebih sejak kali pertama lelaki paruh baya itu menginjakkan kaki di seberang pintu rumahnya pagi tadi. Sesiang ini, tak sesisir pun pisang terjual. Dia menyusuri jalan-jalan, memasuki liang-liang gang yang sempit dan dipadati rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak menjajakan dagangannya, “Pisaaaang... Pisaaang... Pisaaang...”

Tak seorang pun menyahut. Tak seorangpun memanggil untuk berhenti. Di gang sempit, orang-orang hanya memandang lelaki itu sekilas-seperti berkata pada diri mereka sendiri, “Oh, ada tukang pisang lewat”-lalu kembali sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Seorang ibu muda sedang menyuapi anak perempuannya, pemuda gondrong sibuk mencuci motor barunya, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa. Sementara lelaki itu, sang penjual pisang, terus berjalan menjemput rejeki yang entah bersembunyi di mana. “Pisaaaang... Pisaaang... Pisaaang...,” dan masih saja tak seorang pun memanggilnya untuk berhenti-sekadar tertarik pada pisang dagangannya.

Sementara detik-detik terus berguguran di sepanjang langkahnya yang berat, lelaki paruh baya penjual pisang mulai merasakan lapar yang melilit di perutnya. Ia berhenti sejenak di persimpangan jalan, tepat menghadap masjid yang sedang mengumandangkan azan. Kemudian, lelaki penjual pisang menarik nafas panjang, mengusap keringat-lantas meneruskan langkah ke muka masjid. Ashar telah tiba dan dia berniat mengistirahatkan tungkai kakinya yang lelah sambil menunaikan Ashar bagi Tuhannya.

Usai shalat, sang penjual pisang duduk di pelataran masjid menghadap keranjang dagangannya. Lapar masih melilit perutnya.

“Berapa pisangnya?” Suara berat seseorang memecahkan kristal lamunannya. Lelaki tambun dengan kantung plastik hitam di tangan kanannya.

“Eh, yang itu tujuh ribu, Pak.”

“Lima ribu, ya?”

Lelaki penjual pisang berpikir sejenak, “Kalau enam ribu tidak apa-apa, Pak. Ambil saja. Kalau lima ribu belum bisa.” Dia tersenyum ramah.

“Ya sudah, saya beli dua sisir yang ini.” Lelaki tambun menunjuk pisang pilihannya.

Dengan cekatan, lelaki penjual pisang memasukkan dua sisir pisang ke dalam kantung plastik hitam. “Ini, Pak.” Katanya setelah selesai.

“Ini uangnya, kembaliannya ambil saja,” kata lelaki tambun itu.

Penjual pisang berdebar. Sedetik napasnya tertahan. “Wah, terima kasih banyak, Pak. Semoga rezeki Bapak selalu lancar dan dimudahkan...”

“Amin,” jawab lelaki tambun itu, pendek, sambil tersenyum. Lalu pergi.

Penjual pisang mengipas-kipaskan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah dan lima ribu rupiah di atas pisang dagangannya. Dia berharap uang itu bisa menular, semacam mantra, sihir pedagang yang bisa mengubah pisang jadi uang. Barangkali.

Lelaki itu segera beranjak dari tempat duduknya. Meneguhkan kembali keyakinan bahwa Tuhan tak mungkin membuat nya menderita hingga ia tak bisa menahannya. Dia kembangkan lagi dadanya, dia tegakkan langkahnya, lalu kembali menghitung langkah menemui rezeki yang dia yakini sedang menunggunya di berbagai sudut bumi. Meski lapar masih melilit perutnya, penjual pisang terus berjalan... “Pisaaaang... Pisaaaang... Pisaaaang...”  

Tak pernah ada nestapa yang tak berkesudahan, Kalky. Hidup selalu punya caranya sendiri untuk melobangi kebuntuan.

Lelaki paruh baya penjual pisang tiba di sebuah sudut perkampungan. Di sana beberapa pedagang sedang berkumpul; penjual mie ayam, gulali, dan mainan anak-anak. Dia segera bergabung. Seperti bertemu saudara sendiri, mereka menyambut lelaki penjual pisang dengan penuh kehangatan dan keramahan.

“Sudah laku berapa, toh?” tanya pedagang mie ayam berlogat Jawa.

“Yah, sekarang memang susah, kalau dagang buah-buahan begini.” Kata lelaki penjual pisang diakhiri tawa.

“Sama,” kata penjual gulali, “Sekarang anak-anak dilarang jajan gulali sama orangtuanya. Jualan ginian jadi susah.”

Mereka semua tertawa. Seolah beban yang mereka pikul berlepasan satu per satu. Penjual mainan anak-anak mulai merapikan dagangannya.

“Sudah makan, belum?”  kata penjual mie ayam pada lelaki penjual pisang.

“Belum,” jawab lelaki penjual pisang, singkat.

“Barter karo pisang sesisir, yo? Tak kasih semangkuk jumbo mie ayam spesial! Gelem ora?”

“Boleh, boleh...” kata lelaki penjual pisang antusias.

“Sip!” Penjual mie ayam tersenyum mengacungkan jempolnya, mengangkat kedua alisnya.

Lalu, penjual mie ayam mulai meracik semangkuk mie ayam spesial yang dijanjikannya. Aromanya mulai membebaskan lapar yang melilit di perut lelaki penjual pisang. Dia tersenyum. Air liur mulai membasahi rongga mulutnya.

Kalky, hidup selalu indah pada waktunya. Dan tuhan tak pernah tertidur untuk melupakan mereka yang percaya pada takdirnya.

07.39, selepas Isya, lelaki penjual pisang sudah sampai di rumah kontrakan kecilnya. Anak-anak dan istrinya sudah menunggu untuk makan malam seadanya; pepes tahu dan kerupuk bawang.

“Hore, Bapak pulang!” teriak anak lelakinya, yang paling besar. Dia berlari menyambut bapaknya, adiknya yang perempuan membuntuti dari belakang. Kedua anak itu memeluk kaki bapaknya. Lelaki penjual pisang mengusap-usap rambut mereka, mencium keningnya satu per satu, “Ayo, kita makan!” katanya kemudian.

Istri mencium tangannya. Lelaki penjual pisang tersenyum tulus ke arahnya. “Makan apa kita hari ini, Bu ?”

‘’Pepes tahu dan kerupuk bawang.” Kata istrinya ramah.

“Alhamdulillah...” kata lelaki penjual pisang.

“Ini uang untuk belanja besok, dan untuk jajan anak-anak.” Lelaki penjual pisang menyodorkan dua lembar lima ribuan dan selembar sepuluh ribuan.

“Laku banyak hari ini, Pak ?” Istrinya menyodorkan segelas air putih.

“Enam sisir...,” katanya, kemudian ia meneguk segelas air putih di hadapannya, “Satu sisir ditukar mie ayam, satu sisir lagi ditukar mainan ini!” Sambungnya sambil mengeluarkan robot-robotan kecil dan boneka kertas dari dalam tas pinggangnya.

Melihat oleh-oleh yang dibawa bapaknya, anak-anak senang bukan kepalang! “Asyiiik!” Teriak si sulung, melompat gembira.

Sementara itu, anak perempuannya tersipu, tak lama kemudian ia menghampiri bapaknya lalu mencium pipi lelaki penjual pisang itu, “Makasih, Bapak.” Bisiknya.

Istrinya tersenyum. Ia merasakan kebahagiaan luar biasa berbunga di hatinya. “Ayo kita makan.” Katanya lembut.

***

Malam itu, lelaki penjual pisang yang malang, yang berjalan puluhan kilo dengan keringat mengucur dari keningnya, menjajakan pisang dari gang ke gang, menjadi juara di rumahnya sendiri.

Di luar rumah, suara jangkrik bersahutan. Deru knalpot bocor. Pijar lampu 10 watt. Suara tawa terdengar berderai dari dalam rumah kontrakan mungil lelaki penjual pisang.

Lihatlah, Kalky, kebahagiaan adalah soal bagaimana kita menjadi juara bagi diri kita sendiri. Maka, jadilah juara bagi dirimu sendiri. Yakinlah, teruslah melangkah, jangan biarkan dirimu dikalahkan rasa takut dan ragu. Sebab, setiap orang adalah juara bagi dirinya sendiri.

***

Di sebuah sofa di rumah mewah, dua lelaki sedang duduk berdampingan. Seorang ayah dan anak laki-lakinya. Beberapa jarak dari sofa itu, puluhan trofi penghargaan menghiasi sebuah lemari jati. Tepat di hadapan ‘lemari prestasi’ itu, puluhan foto dipasang hampir memenuhi tembok; foto-foto yang penuh sejarah kemenangan dan diambil dengan berbagai latar belakang kota dunia; Tokyo, New York, Moscow, Dubai, Canberra.

“Di mata sebagian orang, ayahmu ini barangkali dianggap juara sejati, Kalky. Berbagai penghargaan pernah ayah dapatkan, dari level desa hingga dunia. Dan kau? Apakah harus seperti ayah? Tidak, Kalky. Kau bisa menjadi dirimu sendiri. Kau bisa bersinar dengan cahayamu sendiri.”

Anak laki-laki itu mengangguk pasti. Ada cahaya yang mulai berpijar di dadanya.

“Jadi, jangan khawatir jika kau tak seperti Ayah. Jadilah dirimu sendiri. Setiap orang bisa menjadi juara bagi dirinya sendiri, Kalky. Kau tahu mengapa sejak tadi aku ceritakan kisah lelaki penjual pisang?”
Anak laki-laki itu menggeleng pelan.

Beberapa saat mereka terdiam. Sampai ayahnya menunjuk ke arah sebuah foto yang terpajang di salah satu dinding ruangan; foto seorang lelaki tua berpenampilan sederhana, “Lelaki itu, Kalky,” kata sang ayah dengan suara tercekat, “Dialah penjual pisang itu. Kakekmu. Dialah juara bagi hidupnya sendiri, dan juara sejati dalam kehidupanku. Tak tertolak!”

Beberapa saat anak laki-laki itu memandangi gambar kakeknya dalam foto; Dia teringat kisah tentang langkah-langkah kakeknya menyusuri jalan demi jalan, gang demi gang, menjual pisang. Dia melihat ayahnya. Dia melihat sekeliling nya. Dia melihat dirinya sendiri. Lelaki itulah, kata anak itu dalam hati, penjual pisang itu, dengan seluruh kesederhanaan nya, dialah sang juara yang sesungguhnya! Kakekku!

Sumber : Novel Hidup Berawal Dari Mimpi – Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black   

Kandank Jurank Doank..

Senin, 19 September 2011

13 Wasiat Terlarang..


Para ahli yang mulai meneliti sejak 1930-an percaya bahwa otak kiri adalah otak rasional, yang erat kaitannya dengan IQ, lebih bersifat logis, aritmatik, verbal, segmental, fokus, serial (linier), mencari perbedaaan, dan bergantung waktu. Sedangkan otak kanan adalah otak emosional, yang erat kaitannya dengan EQ, bersifat intuitif, spasial, visual, holistik, difus, paralel (lateral), mencari persamaan, dan tidak tergantung waktu. Konon dualisme otak inilah yang memojokkan manusia berpikir serba biner. Timur-Barat, pria-wanita, siang-malam, gagal-berhasil, debet-kredit, dan seterusnya.

Karakteristik otak kiri itu kering, kaku, dan serba lurus. Sebaliknya, karakteristik otak kanan itu hidup, supel, dan spontan. Karena sifat-sifatnya itulah, otak kanan bisa mencuatkan kreativitas, intuisi, dan sintesis, sesuatu yang mustahil dibersitkan oleh otak kiri. Dan peganglah baik-baik kutipan religius yang satu ini, "Mulailah dengan yang kanan." Penafsirannya menurut saya, juga menurut spiritualis Ary Ginanjar, "Mulailah dengan otak kanan."

Sebagai tambahan, saya melihat kultur Indonesia, Padang, Batak, Islam, dan Nasrani akrab dengan serentetan istilah serba kanan yang seluruhnya identik dengan kebaikan, contohnya ‘tangan kanan', 'langkah kanan', 'jalan kanan', 'golongan kanan' dan 'sebelah kanan'. Malah dalam Bahasa Inggris kebetulan kata 'kanan' dan kata 'benar' sama-sama diterjemahkan menjadi 'right'. Setengah bergurau, saya pun berasumsi bahwa kanan itu hampir selalu benar. Lebih lanjut, dalam Bahasa Inggris kebetulan pula kata 'kiri' dan kata 'ketinggalan' sama-sama diterjemahkan menjadi ‘left'. Kembali saya berasumsi bahwa kiri itu hampir selalu ketinggalan.

Kitab 13 Wasiat Terlarang! ini adalah solusi. Kitab yang dilabel Right Book ini membongkar tuntas misteri otak kanan. Dilengkapi dengan Right Test untuk menguji otak kanan, Right Tips untuk mengoptimalkan otak kanan, dan Right CD untuk mengasah otak kanan. Sehingga, kitab ini urgen dimiliki oleh profesional, entrepreneur, politisi, sekaligus orangtua dan pendidik yang ingin menghadirkan generasi yang dahsyat. Disebut-sebut 'terlarang', karena isi buku ini tidak pernah diajarkan di dunia pendidikan dan manajemen, semisal kreativitas, intuisi, dan sintesis.

Mengingat mayoritas individu, produk, metode, dan pola pikir masih sangat kiri, itu bermakna dunia membutuhkan kananisasi dengan teramat sangat. Camkanlah, kalau Anda berhasil menjadi orang kanan tulen, niscaya Anda akan menjadi sebutir batu permata di tengah timbunan batu kerikil. Dan apa-apa yang Anda sentuh akan menjelma menjadi sesuatu yang dahsyat. Tidak jadi soal apakah Anda profesional, entrepreneur, politisi, atau apa saja. Salam kanan!

Sumber : http://www.andriewongso.com/artikel/resensi_buku/1409/13_Wasiat_Terlarang/

Senin, 12 September 2011

Hidup Berawal Dari Mimpi..


Tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi
Gantungkan yang tinggi, agar semua terjadi
Rasakan semua, peduli itu ironi tragedi
Senang bahagia, hingga kelak kau mati

“Gue berasal dari keluarga sederhana, Fahd. Working class.” kata Bondan, “Gue berproses sejak lama. Gue berjuang dari kecil untuk bisa punya tempat di industri ini. Sumpah, ini semua nggak gampang… tapi kerja keras emang selalu menunjukkan hasilnya. Bareng Fade2Black, nggak kerasa udah 5 tahun sejak 2005. Awalnya kita cuma dianggap band biasa yang kadang dipandang sebelah mata—malah disepelekan. Kita baru bener-bener ngerasain semuanya ‘meledak’ di tahun 2010, di album ketiga. Meskipun di dua album sebelumnya kita juga pernah dapet beberapa penghargaan, nggak bisa dipungkiri lagu Ya Sudahlah jadi momentum penting yang mengubah banyak hal.” cerita Bondan.

“Ya, impian dan kerja keras emang selalu keren! Kalian udah membuktikan semuanya.” kataku, “Bukan cuma musik yang bagus, lirik yang bagus, karya yang bagus, kesuksesan juga soal bagaimana seseorang menjalani dan menjalankan semuanya, kan?”

“Bener banget!” kata Tito, “Kalo boleh digambarkan, perjalanan kita bisa diwakili sama tiga lagu: Hidup Berawal dari Mimpi di album Respect, Waktu di album Unity, sama Ya Sudahlah di album For All. Kita memulai semua ini dari impian, kemudian kita memperjuangkan dan mempertaruhkan impian itu bersama waktu yang terus berjalan… terakhir, saat kerja keras sudah dilakukan, kita hanya ‘menunggu’, tawakal dengan rasa percaya dan cinta, Ya Sudahlah!”

“Ya, Hidup Berawal dari Mimpi!” kata Bondan sambil tersenyum. Eza mengangguk-angguk setuju.

Lalu Tito tersenyum. Arie tersenyum. Aku tersenyum. Semua tersenyum. Entah bagaimana caranya, senyum dan semangat selalu menular.
....................................................................................................................................
Sumber : http://magz.hiphopheroes.net/buynsell/else-bs/buku-hidup-berawal-dari-mimpi.html

Minggu, 04 September 2011

Visi dan Intuisi..

Visi, melihat sesuatu yang belum terlihat oleh orang lain :


Omong-omong, visi itu apa sih ? Sesungguhnya, terminologi lain untuk visi adalah niat. Tentu, anda masih ingat dengan pernyataan 'mulailah dengan yang kanan' yang menyiratkan makna 'mulailah dengan otak kanan'. Nah, itu semua kait-mengait dengan pernyataan 'mulailah dengan niat'. Jadi, otak kanan itu memang pemukiman bagi visi atau niat.

Rangkaiannya, mulailah dengan visi dan misi (baca : kanan), setelah itu barulah iringi dengan strategi dan taktik (baca : kiri). Gambaran besar dulu (baca : kanan), baru detail (baca : kiri). Niat dulu (baca : kanan), baru amalan (baca : kiri). Begin with the end in mind, ujar Stephen Covey dalam Seven Habits-nya. (Pst, ternyata hampir seluruh habit-nya berpihak ke kanan ! coba saja cek !)

Siapa sih yang sanggup menyangkal dan menangkal kesaktian sebuah visi ? siapa coba ? Tengoklah William Soerjadjaja, pendiri Astra Internasional dan Presiden Komisaris Siwani Makmur (SIMA). Apa sih visinya ? Ia ingin mengangkat perekonomian nasional dalam artian yang seluas-luasnya, diantaranya dengan menciptakan lapangan kerja bagi puluhan ribu masyarakat Indonesia.

Kendati dalam romantikanya, tokoh yang akrab dipanggil Om Willem ini mengalami jatuh-bangun, namun hanya dalam tempo 13 tahun sejak berdirinya Astra Internasional pada tahun 1957, tak kurang dari 72 perusahaan yang telah bernaung di bawahnya. Pada akhir tahun 1992, jumlah itu berkecambah menjadi sekitar 300 perusahaan, yang meliputi sektor otomotif, keuangan, perbankan, perhotelan, dan properti. (Meski kemudian, korporasi raksasa ini terpaksa ia lepaskan.) Begitulah, visi besar, hasil pun besar. Silahkan baca buku Begini Harusnya Bisnis ! untuk menelaah lebih lanjut perjalanan bisnisnya.

Seperti yang diulas sebelumnya, orang otak kiri sejati sukar untuk berhasil. Kenapa ? Ada tiga alasan. Pertama, karena mereka belum membaca buku 13 Wasiat Terlarang. Kedua, karena mereka belum mengikuti seminar Ippho Santosa. Ketiga, inilah alasan yang sebenarnya, karena mereka risih dengan imajinasi, visualisasi, dan visi. Berpikir irrasional dan berpikir 'seolah-olah', tidak ada dalam kamus mereka. Kasihan 'kan ? Ya, iyalah ! Kebetulan pula semuanya -imajinasi, visualisasi, dan visi- merupakan pokok-pokok pikiran dalam buku The Secret. ....................................................................................................................................
Intuisi. Kalau awal-awal otak kanan sudah bilang no, janganlah memaksa otak kiri bilang yes :


Dewasa ini, adalah susah untuk menetapkan keputusan jika hanya mengharapkan otak kiri yang mengharuskan data serba lengkap. Persis seperti seorang jenderal yang tengah menjajaki kekuatan musuh di medan perang. Petunjuk-petunjuk sering tidak komplit. Iya 'kan ? Walhasil, tidak jarang sang jenderal mengira-ngira berdasarkan intuisinya.

Serupa dengan sepasang suami-istri. Ketika si suami selingkuh, kok bisa-bisanya si istri tahu ? Padahal si istri tidak menengok langsung. Saksi tidak ada. Bukti juga tidak ada. Rupa-rupanya intuisi si istri yang mendelik. Secepat kedipan mata ! Blink ! Secara umum dapat dikatakan, wanita memang lebih intuitif daripada pria. Kemampuan intuitif ini juga melekat pada pemimpin (ketimbang pengikut), pengusaha (ketimbang pekerja), seniman (ketimbang birokrat), dan Bangsa Timur (ketimbang Bangsa Barat).

Intuisi, itu 'kan kalau datanya tidak komplit ? Lantas, bagaimana kalau sebaliknya ? Data tumpah-ruah. Pahamilah, intuisi tetap diperlukan. Mutlak ! Yah, anda mana punya waktu untuk memilih dan memilih ? Belum lagi ganasnya persaingan belakangan ini. Nah, situasi sedemikian rupa memojokkan anda untuk membuat keputusan dengan sekali sambar tidak bisa berlama-lama. Di sini lagi-lagi intuisi diharapkan untuk unjuk kerja dan kinerja.

Bagi orang manajemen dan orang pendidikan yang sangat otak kiri, intuisi dianggap sebagai sesuatu yang terlarang. Tukas mereka, "Indra keenam? Apa-apaan itu" Padahal berbekal intuisi, anda bagai melihat sesuatu yang tak terlihat oleh kebanyakan orang. Pasti itu ! Hei, ini bukan berarti anda harus mengarduskan riset, analisis, dan kalkulasi. No, no ! Itu semua tetap ada gunanya, tetapi lebih sebagai penguat, pelengkap, dan pengiring.

Mulailah dengan yang kanan. Kemudian ? Barulah dijabarkan dengan yang kiri. Saya perjelas. Itu artinya, intuisi dulu, baru analisis. Blink dulu, baru think. Seorang entrepreneur yang ditawari suatu lokasi usaha, detik itu juga hatinya membatin, "Sepertinya di sini cocok buka pujasera." Yap, intuisinya yang berbicara. Setelah itu, barulah otak kirinya yang berputar. Data-data pun dikumpulkan, dicermati, dan ditimbang-timbang.

Pernahkah anda menyaksikan entrepreneur membuka bisnis berdasarkan sebuah feasibility study ? Langka ! Dan tahukah anda siapa yang paling sering mengutak-atik feasibility study ? Yah, mereka yang hampir-hampir tidak pernah membuka bisnis, seperti mahasiswa, dosen, konsultan, peneliti, dan penulis. Iya, tho ? ....................................................................................................................................
 Sumber : 13 Wasiat Terlarang - Ippho Santosa